Senin, 31 Oktober 2011

Kasus konflik antara produsen dan pesaing dalam etika bisnis


Persaingan Curang dalam Berbisnis
MASIH ingatkah kasus rumah makan Bakmi Gajah Mada di era  1970-1980-an, di tepi Jalan Gajah Mada di kawasan Jakarta Kota, tidak jauh dari Gang Kelinci, nama gang yang ”ngetop” karena lagunya dilantunkan oleh artis legendaris Lilies Suryani (almarhum). 
Karena cita rasa yang penuh selera, enak, gurih dan  nikmat, membuat Bakmi Gajah Mada diminati dan menjadi buah bibir masyarakat di seantero Jakarta. Padahal, jika dilihat dari tampilan fisik, restoran tersebut  biasa-biasa saja. Yakni hanya berupa ruko (rumah toko) berlantai dua. 

Tidak terlalu istimewa. Yang membuat istimewa adalah  cita rasa makanan dan minumannya, terutama bakmi yang disajikan/dihidangkan dan selalu ramai dikunjungi pelanggan.

Namun, bak petir di siang bolong! Tiba-tiba saja beredar isu yang menjalar super cepat, yakni bahwa cita rasa enak, nikmat  dan gurihnya masakan Bakmi  Gajah Mada dikarenakan kuah dan kaldu bakminya berasal dari cairan tubuh ”bayi” baru lahir yang sengaja digantungkan  di atas tempat masakan  kuah bakmi. 

Selain itu, juga  katanya, ada salah seorang pengunjung yang mengaku telah menemukan potongan jari jempol manusia di dalam mangkok bakmi yang akan disantap.

Ibarat sebuah bank yang kalah kliring dan diisukan akan segera dilikuidasi,  lalu segera di ”rush” oleh nasabahnya, Restoran Gajah Madapun mengalami hal serupa.  Terutama para pelanggan setianya, karena termakan isu langsung panik, kecewa dan tidak mau lagi datang untuk makan bakmi di restoran itu. 

Tidak berhenti di situ saja. Di samping nama dan reputasi restoran tersebut terdegradasi dari percaturan bisnis makanan, khususnya makanan ”perbakmian”, pemilik restoran sempat panik, repot dan lama berurusan  dengan pihak berwajib. 

Meski pada akhirnya  semua tuduhan tidak terbukti, antara lain  tidak pernah ada digantungkan tubuh bayi di atas tempat masakan kuah bakmi sebagai  ”bumbu tambahan” penyedap. Juga tidak terbukti,  terdapat seseorang yang menemukan potongan jari manusia  di dalam mangkok pengunjung. 

Hakim PN  Jakarta Pusat ketika itu memutuskan  Restoran Bakmi Gajah Mada tidak terbukti bersalah. Diduga telah terjadi ”persaingan curang” di dalam praktik berbisnis, yang dalam Bahasa Belanda dijuluki oneerlijke concurrentie (OC).

Indomie & Kasus 
Kasus Bakmi Gajah Mada dengan kasus penarikan Indomie di Taiwan berbeda kisahnya. Juga berbeda tempat terjadinya kasus. Jika kasus Bakmi Gajah Mada  terjadi di dalam negeri, maka kasus Indomie terjadi di luar negeri, di Taiwan/China Taipeh. Namun memiliki kemiripan, yakni keduanya diduga berlatar  persaingan curang di dalam berbisnis (oneerlijke concurrentie). 

Jika kasus Bakmi Gajah Mada dituduh menggunakan ”tubuh bayi baru lahir” yang digantungkan di atas tempat masakan kuah bakmi sebagai kaldu tambahan buat penyedap masakan, sedangkan kasus penarikan Indomie dari berbagai super market di Taiwan karena dituduh  mengandung methyl p-hydroxybenzoate. Senyawa kimia dimaksud  sejenis zat yang dapat merusak kesehatan dan  jenis zat tersebut memang dilarang di negara tersebut. 

Indomie, Seleraku!
Ketika produk mie instan bernama Indomie pertama sekali diproduksi dan lalu dijual di berbagai  pasar dan toko kelontong, penulis sering mengkonsumsinya di campur telur ayam. Hampir setiap hari, terutama untuk sarapan (pagi) yang dimakan bersama nasi putih. Mulai dari rasa kari ayam, ayam bawang, soto medan dan sebagainya.  

Dan tidak pernah goyah, meski pernah beberapa orang rekan menasehati bahwa di samping mie-nya sendiri yang mengandung zat kimia (pengawet)  bumbunya juga ( katanya), terindikasi mengandung zat beracun yang cepat atau lambat dapat merusak sel-sel sensitif di dalam tubuh manusia. Bahkan, katanya,  bisa berakhir dengan kematian !.

Sama halnya dengan ketika isu produk ajinomoto, yang katanya jika terlampau banyak dikonsumsi, terutama pada masakan sayur-sayuran,  akan ”berbahaya” bagi kesehatan manusia. Ketika diisukan bahwa Indomie juga mengandung zat berbahaya bagi kesehatan,  secara spontan dan berseloroh penulis berkata : ”Jangankan makan indomie, minum air putih saja atau aqua , jika terlalu banyak  diminum bisa menimbulkan kematian. Karena perut kita akan kembung dan lalu meledak !”.

Buktinya, sampai tulisan ini dimuat harian ini, Puji Tuhan atau Syukur Alhamdulilah, bukan sesumbar, dan mudah-mudahan masih sehat walafiat, penulis tidak/belum  pernah merasakan kelainan seusai mengkonsumsi Indomie.  

Hanya saja , memang di dalam praktik, jika penulis sendiri yang memasak indomienya, biasanya (mungkin karena faktor psikologis ) mie-nya  oleh penulis direbus terlebih dahulu minimal dua kali. Tapi jika dibeli di rumah makan atau di warung-warung, tentu kalau kita minta untuk direbus dua kali, kita bisa kena damprat  pemilik warung , seraya (mungkin) berkata  : ”Yah  masak sendiri sajalah bang/mas, atau tidak usah belilah, dan ejekan lainnya.

Oneerlijke Concurrentie (OC)
Mengenai OC, logikanya harusnya diatur dalam Kitab Undang-Undang (UU) Hukum Perdata (BW = Burgerlijke Wetboek ) atau Kitab UU Hukum Dagang (Ewtboek van Koophandel). Namun faktanya, OC justru diatur didalam KUHP (Kitab UU Hukum Pidana/Wetboek van Strafrecht). Mengapa - Karena OC atau ”Persaingan Curang/PC)” merupakan salah satu  jenis kejahatan yang pelakunya harus dihukum atau dikenakan  sanksi pidana.

Dalam Kamus Hukum oleh Drs Andi Hamzah SH, Penerbit Ghalia Indonesia Jakarta 17 April 1986 , disebutkan, OC/PC merupakan perbuatan menipu untuk memperdayakan umum atau seseorang dengan maksud mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain , jika dapat timbul kerugian bagi konkuren2-nya atau konkuren2 orang lain itu . (merujuk pasal 382 bis KUHP ).

Sedangkan Kamus Perbankan, Penerbit IBI (Ikatan Bankir Indonesia) Jakarta  tanggal 17 April 1980, tidak disebutkan sebagai persaingan curang, tapi ”persaingan tak sempurna”, yaitu kompetisi untuk mempertahankan pasar tunggal (imperfect competition ).

Di dalam KUHP Pasal 382 bis, OC/PC termasuk kejahatan. Supaya dapat dihukum, menurut pasal ini, antara lain bahwa terdakwa harus dapat dibuktikan telah melakukan perbuatan menipu. Perbuatan menipu itu bermaksud untuk memperdaya publik atau orang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk menarik suatu keuntungan di dalam perdagangan atau perusahaan sendiri atau orang lain. Perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi pesaingnya. Saingannya itu adalah saingan dari terdakwa sendiri atau saingan dari orang yang dibela oleh terdakwa.

Persaingan & Pedagangan Bebas 
Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa produk mie instan di Indonesia, khususnya produk Indomie, memang disukai masyarakat. Di samping harganya terjangkau, juga rasanya nikmat dan mengundang selera serta higenis.

Oleh sebab itu tidak usah heran jika  produk mie instan Indomie mampu merambah  pasar internasional. Mungkin saja, karena kehadiran produk mie instan Indonesia yang diproduksi PT Indofood (Indomie dan Mie Sedap) di Taiwan, membuat was-was produsen mie instan lokal Taiwan (Presiden Food) yang sebelumnya sempat merajai pasaran mie instan di negerinya, menjadi tersaingi yang membuat omzet penjualannya turun drastis.

Betapa tidak, karena di samping harganya relatif jauh lebih murah jika dibandingkan harga mie instan lokal negara lain , rasanya juga nimat dan mengundang selera. Karena kalah bersaing dengan produk Indomie di rumahnya,  lalu  membuat panik produsen mie instan lokal ” Presiden Food”. 

Karena panik dan terdesak, lalu berusaha membuat berbagai macam  cara termasuk rekayasa untuk menyingkirkan Indomie dari pasaran lokal Taiwan antara lain dengan mencari-cari kelemahan mutu produk Indomie, bahkan berusaha  ”menzolimi/memfitnah” dengan cara-cara yang tidak menjunjung etika bisnis, membuat alasan bahwa Indomie mengandung zat yang merusak kesehatan manusia di mana zat tersebut dilarang dikonsumsi/digunakan di negaranya (methyl p-hydroxybenzoate).

Kemungkinan kejadian semacam ini  bukan hanya terjadi di Taiwan. Di negara lain seperti Hongkong, Malaysia, Singapura, Jepang dan lainnya berpotensi  mengalami hal serupa. Hanya saja, patut disayangkan, jika pengusaha mancanegara, khususnya di Taiwan sampai bisa berpikir secara sempit dan picik seperti itu. 

Jika dibalik, bagaimana seandainya  Indonesia juga berpikir ”sempit dan picik” menzolimi produk negara-negara lain seperti produk makanan Malaysia yang banyak masuk ke pasar-pasar swalayan di Indonesia? Juga produk elektronik China/Beijing, termasuk  produk elektronik Taiwan seperti  lap top merk ”acer” diminta untuk ditarik dari pasaran Indonesia?. 

Membuat isu macam-macam yang bertendensi negatif bahwa produk-produk  dari negara-negara tersebut tidak berkualitas dan atau bahkan berbahaya untuk dikonsumsi , dan sebagainya?. Tentu hubungan bisnis dan bahkan hubungan bilateral satu negara dengan negara lainnya berpotensi  menjadi runyam.. Karena berbinis secara murni (pure bussiness) akan mengandung risiko berhasil atau tidak, untung atau rugi di satu pihak. Hal seperti ini wajar dan merupakan konsekuensi dari   diterapkannya perdagangan bebas (globalisasi).

Solusi
Peran Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) harus aktif membantu penyelesaian dugaan bahwa Indomie dan Mie Sedaap mengandung methyl p-hydroxybenzoate ,  yang dilarang di Taiwan bersama pihak   PT Indofood ( produsen Indomie, Indofood CBP Sukses Makmur) untuk menghubungi  Departemen Kesehatan (Biro Keamanan Makanan Taiwan)  melalui cara pendekatan yang ”sangat piawai” , sekaligus berembuk dengan pihak President Food (produsen mie instan terbesar di Taiwan) guna mencari solusi/ jalan keluar yang win win solution.

Antara lain menjelaskan, mie instan Indonesia produksi PT Indofood tidak mengandung methyl p-hydroxybenzoate sebagaimana yang dituduhkan dan dibuktikan dengan hasil penelitian dari pihak berwenang BPOM Indonesia. Dari hasil test laboratorium, serta bukti  ”formal” bahwa Indomie dan Mie Sedaap yang masuk ke pasaran Taiwan sebenarnya sudah memenuhi peraturan Departemen Kesehatan Taiwan (Biro Keamanan Makanan setempat)   

Namun, jika sebaliknya, bahwa ternyata produk Indomie kita memang mengandung zat berbahaya , misalnya oleh karena BPOM lalai dan atau kurang teliti melaksanakan tugasnya , yang antara lain mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia maupun  diluar Indonesia , harus secara jantan, jujur dan berterus terang mengemukakannnya. Secara apa adanya, bukan ada apanya !, seraya menarik segera seluruh produk kita yang ternyata memang mengandung zat berbahaya tsb. Tidak usah malu, orang namanya bisnis!.
Penutup
Indomie adalah  produk asli Indonesia dan merupakan asset kebanggaan nasonal. Sehingga tidaklah  etis jika PT Indofood dibiarkan berjuang sendiri untuk membuktikan bahwa produknya tidak mengandung zat berbahaya  bagi kesehatan manusia, seperti yang dituduhkan. 

Juga jangan sampai lupa loh, bahwa Indomie-pun, dengan lagu melankolisnya, secara tidak langsung, cukup berjasa untuk menghantar terpilihnya kembali SBY menjadi Presiden pilihan rakyat untuk periode  kedua ( tahun 2009 hingga 2014 ).  Karena dengan mendengar lagu ”Indomie... seleraku !” , walaupun syairnya disesuaikan dengan kalimat kampanye Pemilu Pilpres untuk memenangkan SBY, sedikit- banyak pasti berpengaruh kepada para rakyat pemilih untuk memilih kembali SBY sebagai Presiden RI.

(Penulis adalah alumnus Universitas Indonesia, mantan staf pengajar Universitas Jakarta 1983-1990, Pemerhati Masalah Politik, Hukum  & Kemasyarakatan). (Tigor Damanik SH )

Senin, 17 Oktober 2011

CSR Corporate Social Responsibilty


Pengertian CSR Corporate Social Responsibilty


Definisi CSR (Corporate Social Responsibility)adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan(sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawabmereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. contoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada.
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.



Manfaat Bagi Masyarakat


CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi.
Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty).
Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.


Keuntungan Bagi Perusahaan


Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh agen-agen ekonomi pada tujuan mendapatkan keuntungan. Namun, dalam mendapatkan keuntungan, perusahaan tidak dapat membahayakan atau mengabaikan kepentingan pihak lain ‘, atau dengan kata lain, harus bertanggung jawab baik yuridis atau sosial.
Masalah untuk membahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Sampai sejauh mana Corporate Social Responsibility (CSR) diimplementasikan?
2. Faktor-faktor apa yang memotivasi perusahaan untuk menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR)?


3. Apa nilai-nilai moral atau apa prinsip-prinsip hukum harus diakomodasi oleh undang-dang masa depan (ius constituendum) sehingga keseimbangan antara kepentingan korporasi dan kepentingan publik dapat dicapai?

Masalah di atas, dianalisis di bawah kerangka Teori Keadilan, Teori Kontrak Sosial, Teori Struktural dan Fungsional, Teori Stakeholder, dan Teori Utilitarianisme. Data primer dan sekunder secara menyeluruh diolah menjadi narasi dan format tabel dengan menggunakan pendekatan empiris yurisdiksi, dan anayzed kualitatif untuk menjawab masalah yang dirumuskan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan studi lebih lanjut tentang pelaksanaan Corporate Social Responsibility, faktor-faktor yang memotivasi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya, dan untuk menemukan model nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip hukum yang dapat ditampung untuk undang-undang masa depan (ius costituendum Studi ini. diharapkan untuk memberikan keuntungan secara teoritis dan praktis.
Pada kenyataannya, implementasi CSR masih pada tingkat kesadaran sosial, dalam bentuk sumbangan amal dan beberapa dari implementasi CSR masih diarahkan untuk urusan masyarakat. Implementasi Corporate Social Responsibility dipengaruhi oleh kedua driver internal dan eksternal dari perusahaan. Rasa peduli terhadap stakeholder merupakan pendorong internal perusahaan untuk melaksanakan CSR.

Perusahaan yang telah menggunakan CSR

Sebagai contoh, masyarakat dan lingkungan sekitar adalah stakeholders dalam skala prioritas pertama bagi perusahaan pertambangan seperti PT Aneka Tambang, Tbk., dan Rio Tinto. Sementara itu, konsumen adalah stakeholders dalam skala prioritas pertama bagi perusahaan produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble.

Teori Telelogi, Egoisme Etis, Utilitarianisme dan deontologi

1. Etika Teleologi,
Berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran, akibat dan hasil. Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika tujuannya baik  dan membawa akibat yang baik dan berguna.

  • Dari sudup pandang  “apa tujuannya”, etika teleologi dibedakan menjadi dua yaitu:

a.     Teleologi Hedonisme (hedone= kenikmatan) yaitu tindakan yant bertujuan untukmencari  kenikmatan dan kesenangan.

b.     Teleologi Eudamonisme (eudamonia=kebahagiaan) yaitu tindakan yang bertujuan mencari kebahagiaan hakiki.
  •  Dari sudut pandang “untuk siapa tujuannya”, etika   teleologi dibedakan menjadi dua yaitu:

a.      Egoisme Etis, yaitu tindakan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinnya sendiri.

b.     Utilitarianisme, yaitu tindakan yang berguna dan membawa manfaat bagi semua pihak.

Contoh : Perusahaan SAMPOERNA (rokok) memproduksi rokok dari tembakau pilihan, dengan tingkat produk yang banyak beredar dipasaran akan mendapat keuntungan yang besar, tetapi keuntungan yang besar itu pula menyebabkan tingkat pajak yang tinggi terhadap perusahaan. Maka perusahaan mengambil keputusan yaitu dengan menggunakan metode utilitarian “ setiap pembeli rokok yang diproduksi oleh SAMPOERNA akan membayar pajak yang ditangguhkan”. Dengan demikian perusahaan tidak lagi membayar pajak, tetapi konsumenlah yang membayarnya.

2. Etika Deontologi,
Berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut teori ini tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan tindakan sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri.

Contoh: manusia beribadah kepada Tuhan karena sudah merupakan kewajiban manusia untuk menyembah Tuhannya, bukan karena perbuatan tersebut akan mendapatkan pahala.


Kamis, 06 Oktober 2011

this is my blog

Hi hi......perkenalkan nama saya Marlina Novita sari, panggil saja saya VITA. Saya anak ketiga dari enam bersaudara, hehe banyak kan saudara saya.
Sekarang saya adalah mahasiswi Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen di Universitas Gunadarma kelas 4 semester 7. Sebetulnya awal buat blog ini adalah kewajiban dari kampus buat setiap mahasiswanya untuk memenuhi matakuliah softskill yang wajib di post kan di blog dan di post kan kembali ke studentsite ( http://studentsite.gunadarma.ac.id, web yang menghubungkan mahasiswa dengan kegiatan kampus ). Matakuliah softskill saya dapat di semester 3 tepatnya waktu saya kelas 2. matakuliah softskill yang saya telah ikuti adalah Bank dan Lembaga keuangan, Pendidikan Kewarganegaraan, Perilaku Konsumen, Bahasa Indonesia dan yang sekarang sedang saya ikuti adalah Etika Bisnis.
Setelah sekian lama buat blog ini baru sempet dan baru kepengen nulis ( hhe selain tugas isi nya ). saya sebetulnya tidak menyukai menulis, setelah melihat blog teman-teman saya yang isi nya menarik saya berfikir untuk mulai menulis di dalam blog. hehe sekian dulu perkenalan singkat dari saya. Semoga tulisan yang saya buat bermanfaat bagi semua orang dan mohon maaf bila ada kekurangan dan salah dalam tulisan di dalam blog ini, terimakasi ^.^.

Contoh Etika Bisnis



 Iklan simpati vs XL

Iklan kartu as vs iklan XL

Dapat kita lihat dari ketiga gambar diatas bahwa iklan provider telepon seluler tersebut saling menjatuhkan dan menjelekan satu sama lain. Hal ini tidak etis dalam persaingan bisnis. haruskah sesama pesaing menjatuhkan pesaingnya dengan cara seperti ini. Walapun mereka membuat iklan tersebut dengan samar-samar maupun terang-terangan.

Kalau memang provider mereka bagus, tunjukan kelebihan dan keunggulan masing-masing provider dengan kemasan iklan yang lebih menarik dan tunjukan pelayanan dan kenyamanan sinyal bagi konsumen mereka.
Masalah iklan seperti ini adalah contoh dari etika bisnis yang tidak baik.

Senin, 03 Oktober 2011

Perilaku Konsumen

Konsumen adalah objek luar bagian terpenting bagi setiap perusahaan. Perilaku konsumen oleh karenanya menjadi perhatian bagi perumus strategi pemasaran dalam setiap perusahaan.

Nunes dkk (2002) menemukan bahwa konsumen kurang tertarik untuk membayar, atau mau membayar lebih rendah untuk produk dengan biaya variabel relatif rendah dan biaya tetap tinggi. Hasil Nunes ini menunjukkan pentingnya manajemen memperhatikan struktur biaya dalam penetapan harga, yang nantinya akan mempengaruhi niat membeli konsumen.

Hand (1993) menemukan bahwa level harga mempengaruhi perilaku konsumen dalam sikap penerimaan resiko pembelian.

Kedua hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh perumusan strategi pemasaran terhadap perilaku konsume. Unsur lokasi yang merupakan faktor distribusi dari bauran pemasaran ditemukan oleh Money (1995) di Jepang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap niat membeli konsumen, tetapi di Amerika Serikat kejadian yang sama tidak ditemukan.

Faktor promosi yang merupakan salah satu bauran pemasaran juga ditemukan oleh Simpsin (1992) mempengaruhi niat pembelian konsumen, khususnya varaibel periklanan. Faktor produk (kualitas produk) tidak diragukan lagi mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. 

Bruce dkk (1988) menemukan bahwa kualitas produk yang dapat diterima adalah elemen utama yang mem- pengaruhi perilaku pembelian konsumen.

Weiss (2003) juga dalam disertasinya menemukan bahwa produk, lebih tepatnya kualitas makanan mempengaruhi niat konsumen untuk membeli.

Melihat hasil-hasil penelitian di atas, penentuan harga produk, pemilihan metode dan media promosi, pemilihan saluran distribusi dan pemilihan produk harus mempertimbangkan respon dan penerimaan konsumen akan faktor-faktor tersebut. Respon dan penerimaan konsumen ini merupakan bagian dari perilaku konsumen. Mengetahui atau meramalkan perilaku konsumen merupakan pekerjaan yang kompleks dan luas.

Dalam mempelajari perilaku konsumen, pertanyaan yang sering dilontarkan adalah:
1.Siapa yang memutuskan pembelian produk yang dibutuhkan?
2.Faktor apa saja yang mempengaruhi niat untuk membeli produk yang dibutuhkan?
3. Bagaimana konsumen memutuskan apa yang akan dibeli?
4.Bagaimana konsumen memutuskan jumlah yang akan dibeli?
5.Bagaimana konsumen memutuskan dimana akan membeli produk kebutuhannya?

Minggu, 02 Oktober 2011

Etika Bisnis


Tugas untuk softskill untuk minggu ini adalah tentang Etika bisnis, dari beberapa blog dan artikel yang telah saya baca. Saya tertarik dengan tulisan dalam blog http://chaqoqovanjava.blogspot.com/2011/01/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika.html
beberapa pengertian etika bisnis yang ditulisnya adalah

“Etika Bisnis dan Bisnis Beretika
October 9th, 2006 | Business
Seorang pria bernama Morgan Spurlock mengadakan sebuah percobaan iseng. Ia adalah pria dewasa yang sehat, segar bugar, siklus hidupnya bagus, dan tidak memiliki masalah kesehatan yang berarti. Ia kemudian nekat mencoba untuk mengonsumsi junk food dari sebuah perusahaan makanan cepat saji yang cukup terkenal untuk membuktikan hipotesis bahwa junk food memberi ekses sangat negatif pada tubuh.

Sebelum melakukan percobaan, Morgan melakukan berbagai pemeriksaan klinis pada 3 dokter yang berbeda untuk mengetahui kondisi fisik dan psikisnya. Setelah itu, selama 30 hari berturut-turut ia hanya mengonsumsi junk food dari perusahaan tersebut, 3 kali sehari, dan setidaknya mencoba setiap menu yang ada minimal 1 kali. Selama periode tersebut, ia terus melakukan pemeriksaan medis. Walau demikian, aktivitas kesehariannya tetap ia lakukan seperti biasa.

Hasilnya ternyata sungguh di luar dugaan. Selama 30 hari, Morgan sering mengalami stress dan depresi, sesak nafas, pusing, sulit tidur, dan bahkan, pasangannya mengeluhkan adanya pengaruh buruk dalam kehidupan seksual dan vitalitas mereka. Selama 30 hari tersebut, Morgan mengalami kenaikan berat badan 24,5 pon, kadar kolesterol membengkak hingga 230, dan tingkat kegemukan sebesar 18%.

Lebih buruk lagi, untuk menghilangkan penambahan bobot sebesar 20 pon tersebut diperlukan waktu selama 5 bulan, dan 9 bulan lagi untuk menghilangkan sisanya. Pendek kata, kesalahan yang dilakukan hanya selama 1 bulan (baca: buying nothing but junk food) harus ditebus dengan pengorbanan selama beberapa bulan lamanya.

Cerita di atas adalah kisah nyata yang diambil dari Super Size Me, sebuah film dokumenter karya Morgan Spurlock. Selain mengisahkan tentang percobaan nekat yang dilakukan Morgan, ada beberapa hal menarik yang diungkap juga dalam film tersebut. Beberapa di antaranya:

Amerika nggak cuma mempunyai gedung-gedung tinggi, mobil yang pajang, tetapi juga orang-orang “besar.” Sekitar 60% penduduk Amerika diyakini mengalami obesitas, dengan konsentrasi Detroit dan Houston (Texas).
Gaya hidup dan makanan yang keliru tidak hanya dibayar dengan duit, tetapi juga harus ditebus dengan kondisi tubuh, kesehatan, dan risiko kematian.
Dalam suatu percobaan, ditunjukkan beberapa gambar tokoh (termasuk George Washington dan Jesus Christ) kepada beberapa anak. Tidak banyak anak yang bisa menebak. Mereka semua baru bisa menebak dengan tepat ketika disodori gambar badut Ronald McDonald.
Industri junk food telah berkembang dengan sangat pesat. Sebuah perusahaan fast food ternama, dalam 1 hari bisa melayani 46 juta orang; melebihi jumlah penduduk Spanyol.
Lebih parah lagi, junk food juga digalakkan melalui school lunch program.

Apa itu Etika Bisnis?
Definisi etika bisnis menurut Business & Society – Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz):

Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.

Dari sumber yang lain, disebutkan:

Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public.
(R. Sims, Ethics and Corporate Social Responsibility – Why Giants Fall, C.T.:Greenwood Press, 2003)

Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:

Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or values.
Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of right and wrong in behavior.
Etika bisnis sendiri terbagi dalam:

Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions.
R. DeGeorge, Business Ethics, 5th ed. (Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 2002)
Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values.
R. A. Buchholtz and S. B. Rosenthal, Business Ethics (Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall, 1998).
Perlunya Berbisnis dengan Etika
Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”, atau, “Should I accept this gift or bribe that is being given to me to close a big deal for the company?“, atau, “Is this standard we physicians have adopted violating the Hippo-cratic oath and the value it places on human life?“, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya.

Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.

Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Kita Sebagai Pebisnis
Kasus yang paling gampang adalah Enron — yang begitu sering didiskusikan di ruang kuliah. Sebenarnya, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi.

Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.

Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis.

Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.

Masyarakat akhirnya juga lebih aware terhadap pasar modal. Pemerintah pun juga makin hati-hati dalam melakukan pengawasan. Penyempurnaan terhadap sistem terus dilakukan. Salah satunya adalah lahirnya Sarbanes-Oxley Act. Akibat mendzolimi pelaku pasar lainnya, Enron akhirnya terkapar karena melakukan penipuan dan penyesatan. Pun bagi “Enron-wannabe” lainnya, perlu berpikir ulang dua-tiga kali untuk melakukan hal serupa.

Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.

Kita Sebagai Konsumen
Ini yang lebih penting.

Memang benar, tidak ada yang bisa menjadi produsen (atau konsumen) selamanya. Ada kalanya kita berada dalam posisi sebagai penjual dan ada kalanya kita sebagai pembeli. Saya sendiri, lebih sering berada dalam posisi sebagai konsumen — alih-alih sebagai seorang produsen.

Kembali ke kasus Morgan di atas, persaingan bisnis yang kian sengit memang mengakibatkan terdistorsinya batas-batas antara right-wrong atau good-bad. Lumrah sekali kita jumpai praktik bisnis yang menembus area abu-abu. Tidak jarang pula kampanye pemasaran begitu gencar digalakkan sehingga membuat kita bahkan tidak bisa mengenali diri kita sendiri. Kita “dipaksa” membeli barang yang kita tidak perlu. Kita “senang” mengonsumsi produk yang sebenarnya justru merusak diri kita. Kita “bahagia” memakai produk luar negeri sementara industri dalam negeri mulai kehabisan nafas.

Kompas beberapa waktu lalu pernah mengulas tentang gencarnya cengkeraman kapitalisme membelenggu negara-negara yang baru berkembang seperti Indonesia. Korbannya adalah masyarakat strata menengah dan masyarakat strata “agak bawah” yang “memaksakan diri” untuk masuk ke level yang lebih tinggi. Secara fundamental ekonomi, pengaruhnya jelas tidak baik karena ekonomi yang didasarkan pada tingkat konsumsi yang besar (apalagi dibiayai oleh utang) benar-benar rawan. Secara sosial, jelas fenomena ini akan menimbulkan pergeseran dan rentan terhadap benturan yang dampak turunannya sebenarnya cukup mengerikan.

Maka tak perlu heran jika di jaman sekarang seorang anak kecil akan lebih faham kosakata “starbucks”, “breadtalk”, “orchard road”, “gucci”, daripada kosakata lain seperti “gudeg”, “bunaken”, “senggigi”, “ketoprak”, dan sebagainya. Kita secara tidak sadar mengkiblatkan diri pada produk/jasa yang sebenarnya tidak terlalu bagus — melainkan karena praktik pemasaran dan operasional bisnis yang seringkali melanggar batas-batas etika.

Sebenarnya tidak ada yang “salah” dengan kapitalisme. Kapitalisme, yang didasarkan pada perdagangan, disebut Adam Smith sejak lama sebagai kunci kemakmuran. Ide ini sudah dibuktikan secara empiris oleh para akademisi. Dengan adanya perdagangan, maka spesialisasi, penghargaan, kebersamaan, perdamaian, serta kemakmuran bisa tercapai. Yang salah adalah ketika kapitalisme dijalankan dengan melanggar etika sehingga menodai nilai-nilai murni perdagangan itu sendiri.

Belajar dari pengalaman Morgan, sebagai konsumen kita memang harus mulai belajar untuk aware terhadap praktik-praktik bisnis yang melanggar batas-batas etika. Karena pada akhirnya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan. Sementara produsen memiliki kesempatan berkelit yang lebih banyak. The winner takes all.

Padahal, sebenarnya kita nggak perlu malu mengonsumsi tahu, tempe, atau daun singkong, sementara teman-teman kita makan di restoran fast food. Biarlah kita mengenakan produk dalam negeri sementara orang lain pakai Versace, Bvlgari, atau Luis Vuitton. Tidak ada yang akan menghukum kita hanya karena ponsel kita lebih lawas daripada milik rekan kita. Kita tidak perlu ganti mobil hanya karena tetangga kita barusan beli mobil baru. Kita juga tidak harus membeli rumah yang lebih besar sementara kita sendiri sebenarnya sudah cukup nyaman dengan rumah yang ada.“

Kesimpulan yang dapat saya sampaikan sebagai berikut :
Etika bisnis adalah cara untuk melakukan kegiatan, mencangkup individu, perusahaan, industri dan masyarakat.
Etika bisnis mencakup bagaimana kita atau perusahaan menjalankan bisnis sesuai hukum bukan melakukan bisnis sesuai keinginan sendiri ataupun terpengaruh oleh kedudukan indvidu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis memiliki peran penting dalam menjalankan suatu perusahaan, agar perusahaan tersebut dapat berdiri dengan kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi.
Dalam menjalan kan bisnis, perusahaanan harus memiliki etika bisnis dan harus memiliki bisnis yang beretika agar perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik dan dapat memuasakn konsumen.