Persaingan Curang
dalam Berbisnis
MASIH ingatkah kasus
rumah makan Bakmi Gajah Mada di era 1970-1980-an, di tepi Jalan Gajah
Mada di kawasan Jakarta Kota, tidak jauh dari Gang Kelinci, nama gang yang
”ngetop” karena lagunya dilantunkan oleh artis legendaris Lilies Suryani
(almarhum).
Karena cita rasa yang
penuh selera, enak, gurih dan nikmat, membuat Bakmi Gajah Mada diminati
dan menjadi buah bibir masyarakat di seantero Jakarta. Padahal, jika dilihat
dari tampilan fisik, restoran tersebut biasa-biasa saja. Yakni hanya
berupa ruko (rumah toko) berlantai dua.
Tidak terlalu istimewa. Yang membuat istimewa adalah cita rasa makanan
dan minumannya, terutama bakmi yang disajikan/dihidangkan dan selalu ramai
dikunjungi pelanggan.
Namun, bak petir di siang bolong! Tiba-tiba saja beredar isu yang menjalar
super cepat, yakni bahwa cita rasa enak, nikmat dan gurihnya masakan
Bakmi Gajah Mada dikarenakan kuah dan kaldu bakminya berasal dari cairan
tubuh ”bayi” baru lahir yang sengaja digantungkan di atas tempat
masakan kuah bakmi.
Selain itu, juga katanya, ada salah seorang pengunjung yang mengaku telah
menemukan potongan jari jempol manusia di dalam mangkok bakmi yang akan
disantap.
Ibarat sebuah bank yang kalah kliring dan diisukan akan segera dilikuidasi,
lalu segera di ”rush” oleh nasabahnya, Restoran Gajah Madapun mengalami hal
serupa. Terutama para pelanggan setianya, karena termakan isu langsung
panik, kecewa dan tidak mau lagi datang untuk makan bakmi di restoran itu.
Tidak berhenti di situ saja. Di samping nama dan reputasi restoran tersebut
terdegradasi dari percaturan bisnis makanan, khususnya makanan ”perbakmian”,
pemilik restoran sempat panik, repot dan lama berurusan dengan pihak
berwajib.
Meski pada akhirnya semua tuduhan tidak terbukti, antara lain tidak
pernah ada digantungkan tubuh bayi di atas tempat masakan kuah bakmi
sebagai ”bumbu tambahan” penyedap. Juga tidak terbukti, terdapat
seseorang yang menemukan potongan jari manusia di dalam mangkok
pengunjung.
Hakim PN Jakarta Pusat ketika itu memutuskan Restoran Bakmi Gajah
Mada tidak terbukti bersalah. Diduga telah terjadi ”persaingan curang” di dalam
praktik berbisnis, yang dalam Bahasa Belanda dijuluki oneerlijke concurrentie
(OC).
Indomie & Kasus
Kasus Bakmi Gajah Mada dengan kasus penarikan Indomie di Taiwan berbeda
kisahnya. Juga berbeda tempat terjadinya kasus. Jika kasus Bakmi Gajah
Mada terjadi di dalam negeri, maka kasus Indomie terjadi di luar negeri,
di Taiwan/China Taipeh. Namun memiliki kemiripan, yakni keduanya diduga
berlatar persaingan curang di dalam berbisnis (oneerlijke concurrentie).
Jika kasus Bakmi Gajah Mada dituduh menggunakan ”tubuh bayi baru lahir” yang
digantungkan di atas tempat masakan kuah bakmi sebagai kaldu tambahan buat
penyedap masakan, sedangkan kasus penarikan Indomie dari berbagai super market
di Taiwan karena dituduh mengandung methyl p-hydroxybenzoate. Senyawa
kimia dimaksud sejenis zat yang dapat merusak kesehatan dan jenis
zat tersebut memang dilarang di negara tersebut.
Indomie, Seleraku!
Ketika produk mie instan bernama Indomie pertama sekali diproduksi dan lalu
dijual di berbagai pasar dan toko kelontong, penulis sering
mengkonsumsinya di campur telur ayam. Hampir setiap hari, terutama untuk
sarapan (pagi) yang dimakan bersama nasi putih. Mulai dari rasa kari ayam, ayam
bawang, soto medan dan sebagainya.
Dan tidak pernah goyah, meski pernah beberapa orang rekan menasehati bahwa di
samping mie-nya sendiri yang mengandung zat kimia (pengawet) bumbunya
juga ( katanya), terindikasi mengandung zat beracun yang cepat atau lambat
dapat merusak sel-sel sensitif di dalam tubuh manusia. Bahkan, katanya,
bisa berakhir dengan kematian !.
Sama halnya dengan ketika isu produk ajinomoto, yang katanya jika terlampau
banyak dikonsumsi, terutama pada masakan sayur-sayuran, akan ”berbahaya”
bagi kesehatan manusia. Ketika diisukan bahwa Indomie juga mengandung zat
berbahaya bagi kesehatan, secara spontan dan berseloroh penulis berkata :
”Jangankan makan indomie, minum air putih saja atau aqua , jika terlalu
banyak diminum bisa menimbulkan kematian. Karena perut kita akan kembung
dan lalu meledak !”.
Buktinya, sampai tulisan ini dimuat harian ini, Puji Tuhan atau Syukur
Alhamdulilah, bukan sesumbar, dan mudah-mudahan masih sehat walafiat, penulis
tidak/belum pernah merasakan kelainan seusai mengkonsumsi Indomie.
Hanya saja , memang di dalam praktik, jika penulis sendiri yang memasak
indomienya, biasanya (mungkin karena faktor psikologis ) mie-nya oleh
penulis direbus terlebih dahulu minimal dua kali. Tapi jika dibeli di rumah
makan atau di warung-warung, tentu kalau kita minta untuk direbus dua kali,
kita bisa kena damprat pemilik warung , seraya (mungkin) berkata :
”Yah masak sendiri sajalah bang/mas, atau tidak usah belilah, dan ejekan
lainnya.
Oneerlijke Concurrentie (OC)
Mengenai OC, logikanya harusnya diatur dalam Kitab Undang-Undang (UU) Hukum
Perdata (BW = Burgerlijke Wetboek ) atau Kitab UU Hukum Dagang (Ewtboek van
Koophandel). Namun faktanya, OC justru diatur didalam KUHP (Kitab UU Hukum
Pidana/Wetboek van Strafrecht). Mengapa - Karena OC atau ”Persaingan
Curang/PC)” merupakan salah satu jenis kejahatan yang pelakunya harus
dihukum atau dikenakan sanksi pidana.
Dalam Kamus Hukum oleh Drs Andi Hamzah SH, Penerbit Ghalia Indonesia Jakarta 17
April 1986 , disebutkan, OC/PC merupakan perbuatan menipu untuk memperdayakan
umum atau seseorang dengan maksud mendapatkan, melangsungkan atau memperluas
debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain , jika
dapat timbul kerugian bagi konkuren2-nya atau konkuren2 orang lain itu .
(merujuk pasal 382 bis KUHP ).
Sedangkan Kamus Perbankan, Penerbit IBI (Ikatan Bankir Indonesia) Jakarta
tanggal 17 April 1980, tidak disebutkan sebagai persaingan curang, tapi
”persaingan tak sempurna”, yaitu kompetisi untuk mempertahankan pasar tunggal
(imperfect competition ).
Di dalam KUHP Pasal 382 bis, OC/PC termasuk kejahatan. Supaya dapat dihukum,
menurut pasal ini, antara lain bahwa terdakwa harus dapat dibuktikan telah
melakukan perbuatan menipu. Perbuatan menipu itu bermaksud untuk memperdaya
publik atau orang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk menarik suatu
keuntungan di dalam perdagangan atau perusahaan sendiri atau orang lain.
Perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi pesaingnya. Saingannya itu adalah
saingan dari terdakwa sendiri atau saingan dari orang yang dibela oleh
terdakwa.
Persaingan & Pedagangan Bebas
Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa produk mie instan di Indonesia,
khususnya produk Indomie, memang disukai masyarakat. Di samping harganya
terjangkau, juga rasanya nikmat dan mengundang selera serta higenis.
Oleh sebab itu tidak usah heran jika produk mie instan Indomie mampu
merambah pasar internasional. Mungkin saja, karena kehadiran produk mie
instan Indonesia yang diproduksi PT Indofood (Indomie dan Mie Sedap) di Taiwan,
membuat was-was produsen mie instan lokal Taiwan (Presiden Food) yang
sebelumnya sempat merajai pasaran mie instan di negerinya, menjadi tersaingi
yang membuat omzet penjualannya turun drastis.
Betapa tidak, karena di samping harganya relatif jauh lebih murah jika
dibandingkan harga mie instan lokal negara lain , rasanya juga nimat dan
mengundang selera. Karena kalah bersaing dengan produk Indomie di
rumahnya, lalu membuat panik produsen mie instan lokal ” Presiden
Food”.
Karena panik dan terdesak, lalu berusaha membuat berbagai macam cara
termasuk rekayasa untuk menyingkirkan Indomie dari pasaran lokal Taiwan antara
lain dengan mencari-cari kelemahan mutu produk Indomie, bahkan berusaha
”menzolimi/memfitnah” dengan cara-cara yang tidak menjunjung etika bisnis,
membuat alasan bahwa Indomie mengandung zat yang merusak kesehatan manusia di
mana zat tersebut dilarang dikonsumsi/digunakan di negaranya (methyl
p-hydroxybenzoate).
Kemungkinan kejadian semacam ini bukan hanya terjadi di Taiwan. Di negara
lain seperti Hongkong, Malaysia, Singapura, Jepang dan lainnya berpotensi
mengalami hal serupa. Hanya saja, patut disayangkan, jika pengusaha
mancanegara, khususnya di Taiwan sampai bisa berpikir secara sempit dan picik
seperti itu.
Jika dibalik, bagaimana seandainya Indonesia juga berpikir ”sempit dan
picik” menzolimi produk negara-negara lain seperti produk makanan Malaysia yang
banyak masuk ke pasar-pasar swalayan di Indonesia? Juga produk elektronik
China/Beijing, termasuk produk elektronik Taiwan seperti lap top
merk ”acer” diminta untuk ditarik dari pasaran Indonesia?.
Membuat isu macam-macam yang bertendensi negatif bahwa produk-produk dari
negara-negara tersebut tidak berkualitas dan atau bahkan berbahaya untuk
dikonsumsi , dan sebagainya?. Tentu hubungan bisnis dan bahkan hubungan
bilateral satu negara dengan negara lainnya berpotensi menjadi runyam..
Karena berbinis secara murni (pure bussiness) akan mengandung risiko berhasil
atau tidak, untung atau rugi di satu pihak. Hal seperti ini wajar dan merupakan
konsekuensi dari diterapkannya perdagangan bebas (globalisasi).
Solusi
Peran Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Balai Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) harus aktif membantu penyelesaian dugaan bahwa Indomie dan Mie Sedaap
mengandung methyl p-hydroxybenzoate , yang dilarang di Taiwan bersama
pihak PT Indofood ( produsen Indomie, Indofood CBP Sukses Makmur)
untuk menghubungi Departemen Kesehatan (Biro Keamanan Makanan
Taiwan) melalui cara pendekatan yang ”sangat piawai” , sekaligus berembuk
dengan pihak President Food (produsen mie instan terbesar di Taiwan) guna
mencari solusi/ jalan keluar yang win win solution.
Antara lain menjelaskan, mie instan Indonesia produksi PT Indofood tidak
mengandung methyl p-hydroxybenzoate sebagaimana yang dituduhkan dan dibuktikan
dengan hasil penelitian dari pihak berwenang BPOM Indonesia. Dari hasil test
laboratorium, serta bukti ”formal” bahwa Indomie dan Mie Sedaap yang
masuk ke pasaran Taiwan sebenarnya sudah memenuhi peraturan Departemen
Kesehatan Taiwan (Biro Keamanan Makanan setempat)
Namun, jika sebaliknya, bahwa ternyata produk Indomie kita memang mengandung
zat berbahaya , misalnya oleh karena BPOM lalai dan atau kurang teliti
melaksanakan tugasnya , yang antara lain mengawasi peredaran obat-obatan dan
makanan di Indonesia maupun diluar Indonesia , harus secara jantan, jujur
dan berterus terang mengemukakannnya. Secara apa adanya, bukan ada apanya !,
seraya menarik segera seluruh produk kita yang ternyata memang mengandung zat
berbahaya tsb. Tidak usah malu, orang namanya bisnis!.
Penutup
Indomie adalah produk asli Indonesia dan merupakan asset kebanggaan
nasonal. Sehingga tidaklah etis jika PT Indofood dibiarkan berjuang
sendiri untuk membuktikan bahwa produknya tidak mengandung zat berbahaya
bagi kesehatan manusia, seperti yang dituduhkan.
Juga jangan sampai lupa loh, bahwa Indomie-pun, dengan lagu melankolisnya,
secara tidak langsung, cukup berjasa untuk menghantar terpilihnya kembali SBY
menjadi Presiden pilihan rakyat untuk periode kedua ( tahun 2009 hingga
2014 ). Karena dengan mendengar lagu ”Indomie... seleraku !” , walaupun
syairnya disesuaikan dengan kalimat kampanye Pemilu Pilpres untuk memenangkan SBY,
sedikit- banyak pasti berpengaruh kepada para rakyat pemilih untuk memilih
kembali SBY sebagai Presiden RI.
(Penulis adalah alumnus Universitas Indonesia, mantan staf pengajar Universitas
Jakarta 1983-1990, Pemerhati Masalah Politik, Hukum & Kemasyarakatan). (Tigor Damanik SH )