Senin, 31 Oktober 2011

Kasus konflik antara produsen dan pesaing dalam etika bisnis


Persaingan Curang dalam Berbisnis
MASIH ingatkah kasus rumah makan Bakmi Gajah Mada di era  1970-1980-an, di tepi Jalan Gajah Mada di kawasan Jakarta Kota, tidak jauh dari Gang Kelinci, nama gang yang ”ngetop” karena lagunya dilantunkan oleh artis legendaris Lilies Suryani (almarhum). 
Karena cita rasa yang penuh selera, enak, gurih dan  nikmat, membuat Bakmi Gajah Mada diminati dan menjadi buah bibir masyarakat di seantero Jakarta. Padahal, jika dilihat dari tampilan fisik, restoran tersebut  biasa-biasa saja. Yakni hanya berupa ruko (rumah toko) berlantai dua. 

Tidak terlalu istimewa. Yang membuat istimewa adalah  cita rasa makanan dan minumannya, terutama bakmi yang disajikan/dihidangkan dan selalu ramai dikunjungi pelanggan.

Namun, bak petir di siang bolong! Tiba-tiba saja beredar isu yang menjalar super cepat, yakni bahwa cita rasa enak, nikmat  dan gurihnya masakan Bakmi  Gajah Mada dikarenakan kuah dan kaldu bakminya berasal dari cairan tubuh ”bayi” baru lahir yang sengaja digantungkan  di atas tempat masakan  kuah bakmi. 

Selain itu, juga  katanya, ada salah seorang pengunjung yang mengaku telah menemukan potongan jari jempol manusia di dalam mangkok bakmi yang akan disantap.

Ibarat sebuah bank yang kalah kliring dan diisukan akan segera dilikuidasi,  lalu segera di ”rush” oleh nasabahnya, Restoran Gajah Madapun mengalami hal serupa.  Terutama para pelanggan setianya, karena termakan isu langsung panik, kecewa dan tidak mau lagi datang untuk makan bakmi di restoran itu. 

Tidak berhenti di situ saja. Di samping nama dan reputasi restoran tersebut terdegradasi dari percaturan bisnis makanan, khususnya makanan ”perbakmian”, pemilik restoran sempat panik, repot dan lama berurusan  dengan pihak berwajib. 

Meski pada akhirnya  semua tuduhan tidak terbukti, antara lain  tidak pernah ada digantungkan tubuh bayi di atas tempat masakan kuah bakmi sebagai  ”bumbu tambahan” penyedap. Juga tidak terbukti,  terdapat seseorang yang menemukan potongan jari manusia  di dalam mangkok pengunjung. 

Hakim PN  Jakarta Pusat ketika itu memutuskan  Restoran Bakmi Gajah Mada tidak terbukti bersalah. Diduga telah terjadi ”persaingan curang” di dalam praktik berbisnis, yang dalam Bahasa Belanda dijuluki oneerlijke concurrentie (OC).

Indomie & Kasus 
Kasus Bakmi Gajah Mada dengan kasus penarikan Indomie di Taiwan berbeda kisahnya. Juga berbeda tempat terjadinya kasus. Jika kasus Bakmi Gajah Mada  terjadi di dalam negeri, maka kasus Indomie terjadi di luar negeri, di Taiwan/China Taipeh. Namun memiliki kemiripan, yakni keduanya diduga berlatar  persaingan curang di dalam berbisnis (oneerlijke concurrentie). 

Jika kasus Bakmi Gajah Mada dituduh menggunakan ”tubuh bayi baru lahir” yang digantungkan di atas tempat masakan kuah bakmi sebagai kaldu tambahan buat penyedap masakan, sedangkan kasus penarikan Indomie dari berbagai super market di Taiwan karena dituduh  mengandung methyl p-hydroxybenzoate. Senyawa kimia dimaksud  sejenis zat yang dapat merusak kesehatan dan  jenis zat tersebut memang dilarang di negara tersebut. 

Indomie, Seleraku!
Ketika produk mie instan bernama Indomie pertama sekali diproduksi dan lalu dijual di berbagai  pasar dan toko kelontong, penulis sering mengkonsumsinya di campur telur ayam. Hampir setiap hari, terutama untuk sarapan (pagi) yang dimakan bersama nasi putih. Mulai dari rasa kari ayam, ayam bawang, soto medan dan sebagainya.  

Dan tidak pernah goyah, meski pernah beberapa orang rekan menasehati bahwa di samping mie-nya sendiri yang mengandung zat kimia (pengawet)  bumbunya juga ( katanya), terindikasi mengandung zat beracun yang cepat atau lambat dapat merusak sel-sel sensitif di dalam tubuh manusia. Bahkan, katanya,  bisa berakhir dengan kematian !.

Sama halnya dengan ketika isu produk ajinomoto, yang katanya jika terlampau banyak dikonsumsi, terutama pada masakan sayur-sayuran,  akan ”berbahaya” bagi kesehatan manusia. Ketika diisukan bahwa Indomie juga mengandung zat berbahaya bagi kesehatan,  secara spontan dan berseloroh penulis berkata : ”Jangankan makan indomie, minum air putih saja atau aqua , jika terlalu banyak  diminum bisa menimbulkan kematian. Karena perut kita akan kembung dan lalu meledak !”.

Buktinya, sampai tulisan ini dimuat harian ini, Puji Tuhan atau Syukur Alhamdulilah, bukan sesumbar, dan mudah-mudahan masih sehat walafiat, penulis tidak/belum  pernah merasakan kelainan seusai mengkonsumsi Indomie.  

Hanya saja , memang di dalam praktik, jika penulis sendiri yang memasak indomienya, biasanya (mungkin karena faktor psikologis ) mie-nya  oleh penulis direbus terlebih dahulu minimal dua kali. Tapi jika dibeli di rumah makan atau di warung-warung, tentu kalau kita minta untuk direbus dua kali, kita bisa kena damprat  pemilik warung , seraya (mungkin) berkata  : ”Yah  masak sendiri sajalah bang/mas, atau tidak usah belilah, dan ejekan lainnya.

Oneerlijke Concurrentie (OC)
Mengenai OC, logikanya harusnya diatur dalam Kitab Undang-Undang (UU) Hukum Perdata (BW = Burgerlijke Wetboek ) atau Kitab UU Hukum Dagang (Ewtboek van Koophandel). Namun faktanya, OC justru diatur didalam KUHP (Kitab UU Hukum Pidana/Wetboek van Strafrecht). Mengapa - Karena OC atau ”Persaingan Curang/PC)” merupakan salah satu  jenis kejahatan yang pelakunya harus dihukum atau dikenakan  sanksi pidana.

Dalam Kamus Hukum oleh Drs Andi Hamzah SH, Penerbit Ghalia Indonesia Jakarta 17 April 1986 , disebutkan, OC/PC merupakan perbuatan menipu untuk memperdayakan umum atau seseorang dengan maksud mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain , jika dapat timbul kerugian bagi konkuren2-nya atau konkuren2 orang lain itu . (merujuk pasal 382 bis KUHP ).

Sedangkan Kamus Perbankan, Penerbit IBI (Ikatan Bankir Indonesia) Jakarta  tanggal 17 April 1980, tidak disebutkan sebagai persaingan curang, tapi ”persaingan tak sempurna”, yaitu kompetisi untuk mempertahankan pasar tunggal (imperfect competition ).

Di dalam KUHP Pasal 382 bis, OC/PC termasuk kejahatan. Supaya dapat dihukum, menurut pasal ini, antara lain bahwa terdakwa harus dapat dibuktikan telah melakukan perbuatan menipu. Perbuatan menipu itu bermaksud untuk memperdaya publik atau orang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk menarik suatu keuntungan di dalam perdagangan atau perusahaan sendiri atau orang lain. Perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi pesaingnya. Saingannya itu adalah saingan dari terdakwa sendiri atau saingan dari orang yang dibela oleh terdakwa.

Persaingan & Pedagangan Bebas 
Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa produk mie instan di Indonesia, khususnya produk Indomie, memang disukai masyarakat. Di samping harganya terjangkau, juga rasanya nikmat dan mengundang selera serta higenis.

Oleh sebab itu tidak usah heran jika  produk mie instan Indomie mampu merambah  pasar internasional. Mungkin saja, karena kehadiran produk mie instan Indonesia yang diproduksi PT Indofood (Indomie dan Mie Sedap) di Taiwan, membuat was-was produsen mie instan lokal Taiwan (Presiden Food) yang sebelumnya sempat merajai pasaran mie instan di negerinya, menjadi tersaingi yang membuat omzet penjualannya turun drastis.

Betapa tidak, karena di samping harganya relatif jauh lebih murah jika dibandingkan harga mie instan lokal negara lain , rasanya juga nimat dan mengundang selera. Karena kalah bersaing dengan produk Indomie di rumahnya,  lalu  membuat panik produsen mie instan lokal ” Presiden Food”. 

Karena panik dan terdesak, lalu berusaha membuat berbagai macam  cara termasuk rekayasa untuk menyingkirkan Indomie dari pasaran lokal Taiwan antara lain dengan mencari-cari kelemahan mutu produk Indomie, bahkan berusaha  ”menzolimi/memfitnah” dengan cara-cara yang tidak menjunjung etika bisnis, membuat alasan bahwa Indomie mengandung zat yang merusak kesehatan manusia di mana zat tersebut dilarang dikonsumsi/digunakan di negaranya (methyl p-hydroxybenzoate).

Kemungkinan kejadian semacam ini  bukan hanya terjadi di Taiwan. Di negara lain seperti Hongkong, Malaysia, Singapura, Jepang dan lainnya berpotensi  mengalami hal serupa. Hanya saja, patut disayangkan, jika pengusaha mancanegara, khususnya di Taiwan sampai bisa berpikir secara sempit dan picik seperti itu. 

Jika dibalik, bagaimana seandainya  Indonesia juga berpikir ”sempit dan picik” menzolimi produk negara-negara lain seperti produk makanan Malaysia yang banyak masuk ke pasar-pasar swalayan di Indonesia? Juga produk elektronik China/Beijing, termasuk  produk elektronik Taiwan seperti  lap top merk ”acer” diminta untuk ditarik dari pasaran Indonesia?. 

Membuat isu macam-macam yang bertendensi negatif bahwa produk-produk  dari negara-negara tersebut tidak berkualitas dan atau bahkan berbahaya untuk dikonsumsi , dan sebagainya?. Tentu hubungan bisnis dan bahkan hubungan bilateral satu negara dengan negara lainnya berpotensi  menjadi runyam.. Karena berbinis secara murni (pure bussiness) akan mengandung risiko berhasil atau tidak, untung atau rugi di satu pihak. Hal seperti ini wajar dan merupakan konsekuensi dari   diterapkannya perdagangan bebas (globalisasi).

Solusi
Peran Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) harus aktif membantu penyelesaian dugaan bahwa Indomie dan Mie Sedaap mengandung methyl p-hydroxybenzoate ,  yang dilarang di Taiwan bersama pihak   PT Indofood ( produsen Indomie, Indofood CBP Sukses Makmur) untuk menghubungi  Departemen Kesehatan (Biro Keamanan Makanan Taiwan)  melalui cara pendekatan yang ”sangat piawai” , sekaligus berembuk dengan pihak President Food (produsen mie instan terbesar di Taiwan) guna mencari solusi/ jalan keluar yang win win solution.

Antara lain menjelaskan, mie instan Indonesia produksi PT Indofood tidak mengandung methyl p-hydroxybenzoate sebagaimana yang dituduhkan dan dibuktikan dengan hasil penelitian dari pihak berwenang BPOM Indonesia. Dari hasil test laboratorium, serta bukti  ”formal” bahwa Indomie dan Mie Sedaap yang masuk ke pasaran Taiwan sebenarnya sudah memenuhi peraturan Departemen Kesehatan Taiwan (Biro Keamanan Makanan setempat)   

Namun, jika sebaliknya, bahwa ternyata produk Indomie kita memang mengandung zat berbahaya , misalnya oleh karena BPOM lalai dan atau kurang teliti melaksanakan tugasnya , yang antara lain mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia maupun  diluar Indonesia , harus secara jantan, jujur dan berterus terang mengemukakannnya. Secara apa adanya, bukan ada apanya !, seraya menarik segera seluruh produk kita yang ternyata memang mengandung zat berbahaya tsb. Tidak usah malu, orang namanya bisnis!.
Penutup
Indomie adalah  produk asli Indonesia dan merupakan asset kebanggaan nasonal. Sehingga tidaklah  etis jika PT Indofood dibiarkan berjuang sendiri untuk membuktikan bahwa produknya tidak mengandung zat berbahaya  bagi kesehatan manusia, seperti yang dituduhkan. 

Juga jangan sampai lupa loh, bahwa Indomie-pun, dengan lagu melankolisnya, secara tidak langsung, cukup berjasa untuk menghantar terpilihnya kembali SBY menjadi Presiden pilihan rakyat untuk periode  kedua ( tahun 2009 hingga 2014 ).  Karena dengan mendengar lagu ”Indomie... seleraku !” , walaupun syairnya disesuaikan dengan kalimat kampanye Pemilu Pilpres untuk memenangkan SBY, sedikit- banyak pasti berpengaruh kepada para rakyat pemilih untuk memilih kembali SBY sebagai Presiden RI.

(Penulis adalah alumnus Universitas Indonesia, mantan staf pengajar Universitas Jakarta 1983-1990, Pemerhati Masalah Politik, Hukum  & Kemasyarakatan). (Tigor Damanik SH )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar